Jumat, 22 Januari 2010

Rabu, 20 Mei 2009

Manfaat Relaksasi & Hypnobirthing untuk Ibu Hamil

Beberapa pengalaman pribadi tentang Ibu melahirkan. Kisah yang memang terjadi berdasarkan kisah-kisah pribadi dari seorang Ibu yang tadinya dalam proses melahirkan anaknya, beberapa kali harus melalui jalan sesar atau pembedahan dan setelah mengikuti latihan Relaksasi & Hypnobirthing seorang Ibu itu sudah mempunyai keyakinan kuat dan ketika masa proses kehamilan yang semakin cepat sang Ibu benar benar dengan keyakinan yang kuat mengubah cara hidup selama masa kehamilan dan hasilnya adalah sekali menarik nafas bayi itu langsung keluar.

Mungkinkah bila ada Ibu hamil melahirkan tanpa rasa sakit, jawabanya adalah "Ya". Mengapa? Seorang Ibu menginginkan kelahiran anaknya yang normal tetapi mereka kurang begitu memahami apa harus dilakukan dalam masa kehamilan dan pertumbuhan bayi. Ketidaktahuan itulah yang menyebabkan kebanyakan para Ibu merasa cemas, resah, gelisah, takut dan bermacam pikiran lainnya yang negatif menyelimuti setiap hari. Hal ini berdampak buruk bagi kesehatan bayi padahal janin membutuhkan getaran ketenangan dan kedamaian. "Kehamilan sebuah reaksi berantai yang sangat mengaggumkan dan membentuk ikatan seumur hidup yang tak terlepaskan" (kutipan : Lanny Kuswandi fasilitator program relaksasi dan hypnobirthing) . Disini akan dibahas pengertian dari relaksasi dan hypnobirthing serta proses tentang persalinan yang baik dan sehat dengan cara mengaktifkan alam bawah sadar melalui proses Relaksasi & Hypnobirthing untuk Ibu Hamil.

Inti dari Relaksasi & Hypnobirthing untuk Ibu hamil adalah menciptakan suatu getaran tenang dan damai yang dapat dirasakan oleh bayi, menciptakan kesehatan jiwa untuk Ibu hamil sehingga pertumbuhan bayi lebih sehat karena ketenangan menghasilkan hormon-hormon yang seimbang yang nantinya akan dialirkan lewat plasenta.

PENGERTIAN HYPNO-BIRTHING
posted by Longgi

Hypnobithing, sebuah teknik melahirkan yang sangat dicari oleh ibu hamil karena memungkinkan ibu melalui proses persalinan tanpa rasa sakit.

Hypnobirthing sebetulnya adalah sebuah metode relaksasi khusus untuk ibu hamil. Melalui teknik relaksasi yang dipelajari dalam Hypnobirthing ini seorang ibu bisa mendapatkan hasil relaksasi yang sangat mendalam meliputi fisik, nafas maupun pikiran. Dalam kondisi relaks ini ibu tetap dapat mengaktifkan pikiran bawah sadar.

Ketika pemikiran bawah sadar ini aktif, ibu hamil akan merasakan rasa rileks, emosi yang stabil, perasaan bahagia dan rasa nyaman. Hal inilah yang akan membantu ibu hamil untuk menghadapi persalinan. Untuk itu ibu hamil yang biasa melatih teknik Hypnobirthing akan mudah untuk mengendalikan diri dan bisa meminimalkan rasa sakit yang timbul dalam proses melahirkan.

Untuk lebih mudahnya, maka teknik melahirkan Hypnobirthing adalah proses persalinan alami yang dilakukan oleh ibu hamil dengan menggunakan metode relaksasi. Proses persalinan ini dilakukan dalam keadaan sadar namun ibu hamil merasa rileks. Hal ini berguna untuk mengurangi rasa sakit yang timbul dan memperlancar persalinan.

Seorang ibu yang melakukan persalinan dengan Hypnobirthig seakan-akan masuk dalam pikiran bawah sadar seperti halnya terhipnotis. Namun demikian ibu hamil masih bisa diajak berkomunikasi secara efektif.

Pengertian lainnya tentang hypnobirthing adalah upaya untuk meningkatkan ketenangan dan menanamkan program positif selama masa kehamilan sampai proses melahirkan dan masa nivas .

PENGERTIAN RELAKSASI

Relaksasi adalah suatu kondisi istirahat pada aspek fisik dan mental manusia, sementara aspek spirit tetap aktif bekerja. Dalam keadaan relaksasi, seluruh tubuh dalam keadaan homeostatis atau seimbang, dalam keadaan tenang tapi tidak tertidur, dan seluruh otot-otot dalam keadaan rileks dengan posisi tubuh yang nyaman.
Relaksasi merupakan upaya mengistirahatkan otak dan otot secara sadar pada saat yang bersamaan mengaktifkan alam bawah sadar.

Manfaat dari Relaksasi & Hypnobirthing untuk Ibu Hamil

Kehamilan merpakan sebuah anugrah terutama bagi pasangan muda. Mereka yang tidak sabar bertemu dan melihat langsung wajah bayi mereka umumnya akan melakukan apapun agar proses persalinan dapat dilalui dengan lancar. Untuk hal inilah beberapa pasangan mengikuti terapi Hypnobirthing.
Adalah mengatasi reaksi-reaksi mual, muntah, pusing, pada awal kehamilan, mengatasi kecamasan selama kehamilandan meningkatkan ketenangan jiwa. Mengatasi proses proses persalian dengan tenang sehingga lebih lancar, mempercepat masa post natal recorveri dan mencegah post partum depression.

Sekian kalinya Pesawat Indonesia jatuh


Dalam usia negara yang sangat muda, Republik Indonesia telah memposisikan diri pada satu tempat yang tidak terlalu jauh ketinggalan dihadapkan dengan kemajuan teknologi dirgantara pada zamannya. Hal ini antara lain adalah berkat pemahaman dari Bung Karno, Presiden Indonesia, yang sangat visioner dengan pesannya, "Bangsa Indonesia akan menjadi kuat dan besar bila ia mempunyai Ibu Pertiwi dan Bapak Angkasa.
Kutipan "
Marsekal TNI Chappy Hakim Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU)"Keterangan Artikel
Sumber: Kompas
Tanggal: 19 Nov 03
Catatan: -

Rabu, 20 Mei 2009 | 12:03 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Juru bicara Mabes TNI Marsekal Muda TNI Sagom Tamboen menginformasikan, selain 57 penumpang yang tewas, jatuhnya pesawat TNI AU Hercules C-130 juga menewaskan Ny Rosidi, Warsim, dan satu lagi penduduk yang masih dicari. Ketiga korban itu tewas karena sedang berada dalam rumah yang tertimpa pesawat.

Jubir TNI Sagom Tamboen mengatakan, jumlah korban tewas kemungkinan bisa bertambah. Sementara itu, data dari Dinas Penerangan TNI AU menyatakan jumlah korban tewas hingga Rabu siang mencapai 78 orang.


Rabu, 20 Mei 2009 | 11:05 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Nina Susilo

SURABAYA, KOMPAS.com — Pesawat Hercules milik TNI AU jatuh di Magetan sekitar pukul 06.00, Rabu (20/5), diperkirakan karena gagal mendarat.

Panglima Kodam V/Brawijaya Mayjen TNI Soewarno dalam perjalanan dari Surabaya menuju Magetan mengatakan, berdasarkan laporan Danrem Madiun, Dandim Magetan, dan konfirmasi Danlanud Iswahyudi, pesawat berangkat dari Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, pukul 05.00.

Rute penerbangan rutin ini seharusnya Jakarta, Madiun, Kupang, Makassar, dan Biak. Dalam penerbangan ini, Pangkosekhanudnas Marsekal Pertama Harsono terbang bersama keluarganya. Namun, kata Soewarno, pesawat diperkirakan gagal mendarat sebelum tiba di Bandara Iswahyudi. "Mengenai penyebab, saya belum bisa mengonfirmasi karena Danlanud masih sibuk mengevakuasi korban. Evakuasi kami prioritaskan saat ini," kata Soewarno.

Jatuhnya pesawat juga menimpa dua rumah warga sehingga dua warga meninggal dan seorang lainnya kritis. Dalam pesawat itu tercatat terdapat 88 penumpang dewasa, 10 anak-anak, dan 14 kru pesawat. Dari jumlah itu, baru 72 orang dievakuasi. Sebanyak 59 orang meninggal, termasuk Pangkosekhanudnas Marsma Harsono, dan 13 lainnya masih kritis.

Rabu, 20 Mei 2009 | 13:51 WIB
MADIUN, KOMPAS.com — Komandan Pangkalan Udara TNI-AU Iswahjudi Magetan Marsma TNI Bambang Samudra, mengemukakan, hingga pukul 12.20, korban jatuhnya pesawat Hercules C-130 bernomor A-1325 yang berhasil dievakuasi adalah 105 orang, yaitu 90 orang di antaranya tewas, 10 orang luka berat, dan 5 orang luka ringan.

Korban meninggal dievakuasi ke RS TNI-AU Lanud Iswahjudi Magetan, sementara korban luka dievakuasi ke RSUP (Rumah Sakit Umum Provinsi) dr Sudono Madiun. Demikian dikatakan Danlanud Iswahjudi kepada pers.
Bambang Samudra menjelaskan, hingga kini, masih ada beberapa korban yang diupayakan untuk dievakuasi. Namun, hal itu memerlukan waktu karena tubuh korban terjepit bagian mesin atau bagian pesawat lainnya sehingga badan pesawat itu harus digergaji untuk mengeluarkannya.









Pendapat JK tentang Pesawat Jatuh


JK: Hercules Jatuh karena Anggaran Alutsista Tidak Cukup

Rabu, 20 Mei 2009 | 12:44 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Presiden M Jusuf Kalla mengatakan, jatuhnya pesawat angkut jenis Hercules C-130 TNI AU akibat tidak adanya anggaran yang cukup untuk pembelian alat utama sistem senjata (alutsista) di Indonesia.

"Ini akibat tidak diberi porsi yang cukup untuk alutsista kita," kata Wapres Jusuf Kalla di Jakarta, Rabu, ketika ditanya komentarnya atas kecelakaan Hercules di Magetan, Jatim.

Menurut Wapres, alutsista yang dimiliki oleh TNI AU sebagian besar sudah tua usianya dan dibeli ketika zaman (Alm) Jenderal M Jusuf. Oleh karena itu, Wapres menegaskan ke depan soal anggaran alutsista ini harus segera dipenuhi. "Ini (anggaran alutsista) harus segera. Saya jamin itu," kata Wapres dengan nada serius.

Apalagi, tambah Wapres, untuk pesawat angkut jenis Hercules ini tidak hanya dipakai untuk perang, tetapi juga untuk tugas-tugas kemanusiaan di saat damai. Dalam kesempatan itu Wapres juga mengucapkan duka cita yang mendalam kepada keluarga korban.

Hercules jenis C-130 dengan nomor registrasi A1325 mengalami kecelakaan dan jatuh di Desa Geplak, Kecamatan Karas, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, Rabu (20/5) pagi sekitar pukul 06.00.

Minggu, 17 Mei 2009

DISCUS PROG

 

 

Rabu, 13 Mei 2009

Membawa Nama Negara Sendiri

Awalnya dari obrolan ringan, obrolan yang pada mulanya hanya membicarakan keadaan Negara Indonesia yang beberapa tahun belakangan ini banyak sekali terjadi kejadian-kejadian mulai dari gempa, tanah longsor, dan banyak lagi bencana alam yang menyelimuti tubuh Ibu Pertiwi oleh salah satu personil Discus. Bahasan kami memang tidak menentu arah dan bagi kami saat itu yang penting kita berusaha untuk berbagi pengalaman. Aku coba menanyakan tentang pengalaman konser di luar negeri "konser discus", waktu itu yang kita bicarakan adalah untuk konser di Amerika dan Jerman. Melihat raut wajah salah satu personil discus yang begitu bangga dan berani bicara apa adanya kepada kita yang muda dan menceritakan keadaan negara orang lain yang begitu tertata, menceritakan kekuatan musik, mencerikan sebuah group yang sebetulnya bukan men-tenarkan nama group itu semata melainkan membawa nama Negara atau yang bisa saya sebut sebagai riwayat pergerakan musik Indonesia yang sampai ke Negara lain. Pergerakan yang dimaksud disini adalah merupakan peluang untuk membuktikan bahwa di Indonesia ada musik yang dimainkan serius sekaligus menepis kesan. Banyak nilai-nilai yang dapat dijual dari keseluruhan musik yang dibuat oleh discus, didalamnya seolah semua budaya bersatu untuk membentuk not not lagu. Penghargaan apa yang pantas untuk orang/group yang telah membawa citra yang baik bagi negaranya sendiri?? Sedikit sekali yang saya dengar tentang penghargaan yang diberikan oleh negara ini, kebanyakan penghargaan diberikan jika bentuk bentuk itu telah jadi mode atau trend. Hati ini terasa ngilu mendengar kisah kisah perjalanan mereka di negeri orang lain. Mengapa...Mengapa...~!! Kata itu yang selalu ada dihati ini sampai sekarang. Mereka bermain membawa nama negara. Seharusnya semua biaya ditanggumg oleh negara. Percuma ada Departemen kepariwisataan dan Kebudayaan.

Kegelisahanlah yang membuat tulisan ini rasanya perlu untuk dipublikasikan sebagai kesadaran melihat kondisi Dunia musik Indonesia yang sekarang ini bisa dirasa masih memperhatikan, padahal Indonesia sendiri memiliki kekayaan yang beragam dan itu salah satu daya tarik bagi negara negara yang maju dan juga merupakan aset bagi Negara ini.

Masalahnya apapun perjuangan mereka adalah untuk membawa nama Indonesia dan bukan group semata. Mereka pantas mendapatkan gelar Pahlawan.

Maka disini saya mencoba mengumpulkan hasil penelusuran saya tentang kelompok musik Discus yaitu Legendnya Indonesia dari berbagai sumber media, mulai dari artikel yang beredar di Internet, Koran, Majalah dan beberapa media lainya.

Hasil penelusuran dalam GOOGLE: Discusprog

PENAMPILAN DI MANCANEGARA :

Discus sudah sering tampil di mancanegara. Antara lain dalam "ProgNight" di San Francisco, "Knitting Factory" di New York, dan "ProgDay" di North Carolina. Semuanya digelar di Amerika Serikat. Discus juga tampil dalam "BajaProg" di Baja, Meksiko tahun 2001, "Progsol" di Pratteln, Swiss tahun 2005, dan yang terakhir "FreakShow" di Wurzburg, Jerman tahun 2005




Kompas >Jumat, 29 September 2000
Discus Menggebrak Amerika Serikat

Nama kelompok musik Discus nyaris tak terdengar di blantika musik Indonesia. Namun, nama Discus justru cukup sering diulas majalah musik luar negeri seperti Expose, majalah khusus progressive rock terbitan Amerika, serta majalah- majalah Eropa lainnya.Grup yang memakai nama ikan hias ini sebenarnya telah merilis album pertama Discus 1st yang dirilis Mellow Records (Italia) dan diedarkan di Indonesia oleh Aquarius Musikindo.

"Mungkin musik kami jauh dari kesan pop. Lebih rumit dan eksperimental. Bayangkan, kami mencoba menyatukan begitu banyak jenis musik, mulai dari musik jalanan, jazz, rock, hingga etnik Jawa," kata Iwan Hasan, sang gitaris yang juga leader Discus.

Dalam review-nya, majalah Expose edisi lalu memuji Discus sebagai "...best of the year stuff, this one gets our highest recommendation...". Bahkan sejumlah kritisi musik progressive rock di Eropa sepakat menempatkan album Discus 1st sebagai lima besar album prog-rock terbaik Eropa akhir tahun 1999 lalu.

Di mata orang asing, boleh jadi elemen musik etnis Jawa yang terkandung dalam Discus 1st, masih memikat. "Itu tidak kami pungkiri. Discus menjadi titik perhatian karena masih mau membawa nuansa musik tradisional kita," lanjut Iwan.

Tidak mengherankan bila kemudian Peter Renfro, penginisiatif acara tahunan "ProgDay" yang menampilkan band-band progressive rock seluruh dunia, mengundang Discus untuk tampil di Amerika setelah mendengar debut album Discus.



PROFIL > DISCUS
Kelompok Discus menjadi thesis musik progresif Indonesia.


Reformasi tidak hanya melanda dunia politik Indonesia. Agaknya, para musisi pun perlu bersikap reformis. Nampaknya Discus memelopori langkah ini.

Inovatif, itulah kata kunci yang tepat untuk menggambarkan kelompok Discus. Seperti dalam Discus 1st - album perdana mereka - kental sekali terasa usaha kreatif ber-eksperimen dengan pola-pola komposisi yang lain dari yang lain. Cover Discus 1stMemang, bagaimanapun, akar pada nuansa-nuansa mainstreams seperti jazz, rock, klasik, tidak bisa tidak, tetap ada. Yang membedakan sangat jelas adalah kreatifitasnya untuk selalu inovatif, ketimbang sekadar duplikatif, dalam menghadirkan struktur bermacam pola komposisi dari lagu ke lagu. Terdengar unik dan asli!

Menarik untuk mengamati mengapa Discus berani tampil beda. "Menampilkan pola-pola komposisi orisinil, justru karena kami melihat bahwa segmen progresif boleh jadi adalah satu-satunya wilayah yang relatif amat sulit untukmenegaskan sebuah identitas" kata Iwan Hasan, yang menjadi motor kelompok Discus. "Apalagi mencari yang khas Indonesia", sambungnya.

Musik progresif itu sendiri, secara historis memang sulit dilepaskan dari rock -yang di Indonesia sering diistilahkan art rock. Dalam website Kinesis (sebuah label di Amerika yang mengkhususkan diri pada musik-musik jenis ini), disebutkan aliran ini mulai berkembang sekitar akhir tahun 60-an atau awal 70-an, ketika batas-batas musik rock diperluas danmenjelajah masuk ke dalam elemen-elemen genre lainnya seperti klasik dan jazz. Konsekuensinya, usaha infusi dalam musik progresif, mau tak mau menuntu, selain virtousity tinggi, juga wawasan luas para musisinya.

Disebutkan, John Lennon dkk dengan The Beatles-nya mulai menggagaskan infusi elemen berbagai genres selain rock'n roll, dalam karya-karya mereka akhir 60-an. Kemudian menyusul nama-nama besar di era 70-an seperti King Crimson; Emerson; Lake & Palmer; Yes; Genesis; Gentle Giant; dan PFM yangmeramu kompleksitas melodi, lirik serta rhythm dengan begitu imajinatifnya. Dari kubu Jazz, Miles Davis melakukan ground-breaking melalui rekamannya Bitches Brew. Langkah Davis pun diikuti berbagai kelompok musik instrumental electronic jazz-rock fusion seperti Weather Report, The Mahavisnu Orchestra and Return To Forever.

Iwan Hasan, agaknya, bakalan menjadi sebuah nama yang memberi warna khusus dunia musik Indonesia sebentar lagi. Dalam Discus 1st, terlihat usaha kerasnya menjejaki proses dialektika di antara polarisasi estetika Barat dan Timur, dengan segudang masalahnya. Seperti ditulis Franki Raden ketika Discus tampil pada JakJazz 97: "Latar belakangnya sebagai komponis-gitaris yang menempuh pendidikan formal di Amerika menjelaskan mengapa karya-karyanya tergarap secara akademis dan sangat Inovatif. Formasi instrumentasinya menarik (biola, gitar, saxophone, keyboard, drum, perkusi elektronik dan bas gitar), harmonisnya penuh dissonan, struktur komposisinya kokoh, idiomnya progresif, kadang diselingi oleh keelokan warna musik lokal" (Kompas, Des 97)

Di sisi lain, seperti diulas dalam kolom Harian Kompas seputar Pekan Komponis IX di Gedung Kesenian Jakarta: "Dari khazanah tradisi musik barat, muncul Iwan Hasan (31). Ini nama baru di kalangan pemusik kontemporer di Indonesia, yang berkukuh pada disiplinnya dan tak tergiur untuk berduyun memasuki wilayah musik tradisi entah bekalnya cukup atau tidak" (Kompas 21 Maret 1998).

Kalau begitu, cukup optimis rasanya untuk mengatakan Discus sat ini siap menjadi thesis yang menjawab apa itu musik progresif Indoesia sesungguhnya. Persoalan selanjutnya adalah bagaimana kita mengapresiasi karya-karya kita sendiri. Sekadar catatan, album Discus 1st telah beredar di pasaran Eropa melalui Mellow Records - Sebuah perusahaan Italia. Dan, Paolo Rondelli, International Business Affairs perusahaan tersebut meuji: "The Whole album is excellent". (JHW/Mz/WJ)/( WartaJazz.com)


WAWANCARA DENGAN IWAN HASAN
Oleh : Ajie Wartono *)


Iwan Hasan adalah salah satu dari musisi Indonesia yang mempunyai idealisme tersendiri, dengan kelompoknya Discus yang juga beranggotakan Anto Parboe, Eko Partitur, Fadhil Indra, Hayunaji, Kiki Caloh, Krisna Prameswara dan Nonnie mengusung musik yang bisa dikategorikan ke dalam musik Progressive Rock dan banyak melakukan eksplorasi musikal pada musiknya. Musisi yang juga menguasai permainan Harpa Gitar ini dengan kelompoknya Discus justru bersinar di mancanegara daripada di negerinya sendiri Indonesia, bahkan pada awalnya Discus sempat tidak diterima disini baik oleh sebagaian masyarakat maupun industri musik.


WartaJazz (WJ) : Bagaimana ide awal atau latar belakang terbentuknya Discus ?

Iwan Hasan (IH) : Saya ingin membentuk sebuah grup musik beraliran Progressive rock, tadinya sih nggak berpikir ke Progressive rock, tapi akhirnya kami dimasukkan ke situ oleh "market",. Saya dari kecil punya basic musik klasik kemudian pada waktu masih remaja suka main band yang main musik rock. Kemudia saya studi musik waktu itu di Willamette University (Oregon, Amerika -red) , nah disitu saya belajar musik klasik dan jazz juga komposisi kontemporer, setelah itu saya punya keinginan untuk membentuk grup. Latar belakang saya kan menjadi macam-macam dan campur-campur, ya di klasik, rock, jazz juga musik kontemporer, lama-lama saya berpikir ini kok asiknya sama, dengan mencoba bikin suatu yang sifatnya penggabungan terus saya kumpulkan teman-teman, pertama saya dengan Fadhil (Fadhil Indra, keyboard -red) kami bikin band dan ketemu teman-teman yang latar belakangnya beda-beda bahkan ada yang bertolak belakang lalu jadilah Discus, kemudian kita waktu itu bikin lagu dan belum ada label (perusahaan rekaman -red) dari Indonesia yang tertarik dan susah sekali, kita coba tawarkan ke luar negeri, ternyata oleh perusahaan Italia yang bernama Mellow Records dirilis, kemudian setelah dirilis oleh Mellow Records baru di rilis di Indonesia dalam bentuk kaset (Chico&Ira Production -red), jadi dirilisnya di Italia duluan dan label itu adalah label untuk musik-musik Progressive rock , jadi saya pikir kita oleh pasar dikelaskan ke dalam Progressive rock, kenyataannya juga begitu dirilis di Italia dan dipasarkan sampai Amerika , di Amerika terus kita diundang untuk ikut festival pada festival musik Progressive rock , jadi rasanya kita bisa disebut band Progressive rock.

WJ : Padahal mungkin maksudnya tidak ke arah situ, tapi karena mengabungkan beberapa jenis musik, rock, jazz, ethnic ..


IH : Sebetulnya Progressive rock ya seperti itu, jadi Progressive rock definisinya sangat luas, yang penting ada elemen rock dan elemen yang lain-lain, jadi kita pertama tidak bermaksud menjadi band Progressive rock tapi juga tidak bermaksud untuk tidak menjadi band Progressive rock, kita tahu Progressive rock tapi pokoknya pikiran kita waktu itu, kita campur-campurin saja dan akhirnya terserah orang dan pendengar saja menilainya, tapi kenyataannya yang menerima kita pangsa Progressive rock dan memang Progressive rock itu definisinya begitu, pokoknya ada musik rock digabung (biasanya) dengan musik klasik atau jazz kebetulan kita juga ada elemen etnik tradisional dan kontemporer, jadi ya rasanya benar juga kita dimasukkan ke dalam Progressive rock.

WJ : Lalu ada komposisi di "Gitar Klinik" yang berjudul "Transcultural Echoes on 33 Strings", nah itu ada yang menyebut sebagai "Ethnoprogressive Contemporary Jazz Metal", bagaimana mengenai ini ?


IH : Sama saja saya kira, sebetulnya kan kata kuncinya Progressive , jadi Progressive itu sudah bisa mencampur semuanya , kita juga Progressive rock yang mengandung jazz, karena Progressive rock bisa dibilang semacam dialektika dari berbagai macam style yang kemudian bertemu, makanya band Progressive satu dengan yang lain bisa sangat berbeda sekali , jadi pokoknya basicnya Progressive rock pasti merupakan sebuah campuran dia tidak hanya merupakan rock dan jazz, dia bisa campuran rock dan avant garde, kita juga ada elemen itu. Seperti Gentle Giant (grup musik Progressive rock -red) itu elemen-eleman avant garde nya memakai suara-suara kaca pecah (lagu In A Glass House -red) segala macam, dia juga jazznya sangat kuat juga da pengaruh musik jaman Renaissance , mungkin rocknya sendiri bisa-bisa tinggal dua puluh persen.
WJ : Sekarang juga ada istilah Rock In Opposition (RIO), yang juga banyak menggabungkan rock, avant garde, free jazz dan mungkin sudah susah dikategorikan apa ?

IH : RIO itu salah satu sub genre dari Progressive rock , yang menyebut istilah itu yang pertama adalah Chris Cutler dari grup Henry Cow , ya itu salah satu dari sekian puluh jenis Progressive rock.

WJ : Mungkin ini susahnya, karena sesuatu itu harus ada sebutan atau klasifikasinya !

IH : Sebetulnya begini, bukan harus ada begitu, yang memberi klasifikasi ini rata-rata adalah masyarakat artinya pendengar atau pengamat, tapi sebetulnya tugas seorang musisi bikin saja apa yang dia mau, diklasifikasikan apa ya tergantung pendengar saja

WJ : Jadi mungkin misalnya seperti musik Discus ini, mungkin ada yang menganggap ini bisa dimasukkan ke jenis jazz, tapi ada juga yang menganggap bukan jazz !


IH : Ya betul, jadi sebetulnya kalau dibilang jazz, nggak salah juga, karena kadang-kadang kita berat ke jazz, kadang-kadang ke rock , tapi ada juga chamber music yang cuma bermain bertiga, harp guitar acoustic, bass clarinet dan violin (lagu Condissonance -red), itu bisa dibilang klasik modern, jazz nggak, rock juga nggak.

WJ : Ada juga yang semacam electro acoustic seperti pada Violin Metaphysics.


IH : Ya betul.

WJ : Bisa diceritakan bagaimana penerimaan masyarakat di sana (Amerika) terhadap musik Discus pada Festival ProgDay 2000 ?

IH : jadi pada tanggal 6 Oktober 2000 kita tampil di San Francisco, tanggal 9 Oktober kita tampil di North Carolina pada ProgDay 2000, kemudian besoknya kita tampil di Knitting Factory, New York. Sambutannya sangat baik, karena disitu memang audience nya, audience Progressive, karena memang organizernya adalah organizer untuk musik Progressive, sambutannya baik sekali dan yang mengejutkan setelah saya pulang ke Jakarta, ada suatu news group Progressive rock di Amerika yang namanya Rec News Progressive, disitu ada jajak pendapat kepada para penonton ProgDay 2000, sebetulnya festival ini bukan pertandingan tapi penontonnya iseng-iseng bikin pooling, ternyata disini Discus mendapat grup kedua terbaik dari semua grup yang tampil di ProgDay 2000, yang pertama adalah grup dari Finlandia.

WJ : Apakah Mellow Record masih akan merekam album Discus ?


IH : Mereka sih masih mau..

WJ : Kemudian apa Discus sudah mempersiapkan album berikutnya ?


IH : Ya, kita baru nulis-nulis lagu dan belum mulai rekaman, tapi ada satu lagu kita yang sudah matang karena kita bawakan mulsi dari Amerika , lalu beberapa main disini kita bawakan juga, lagu yang durasinya sekitar dua puluh satu menit , terdiri dari tujuh bagian , lagu ini selama kita di Amerika termasuk yang sangat disukai oleh audience disana, kita waktu itu jual CD juga dan langsung habis, sold out bahkan masih banyak yang mencari, lalu mereka tanya lagu yang baru ini kapan keluarnya.

WJ : Dengar-dengar ada tawaran dari label lain juga untuk merekam Discus ?


IH : Ada, pada waktu itu di Amerika kita di approach, ya kita lihat-lihat lah mana yang terbaik, sebetulnya saya jadi tertarik, apakah kita rilis sendiri di Indonesia terus diekspor, tapi nggak tahu lah itu nanti kita pikirkan lagi.


WJ : Menurut anda bagaimana publik Indonesia sendiri dengan Discus ini ?

IH : Tahun 1999, dua bulan setelah dirilis di Italy kemudian baru dirilis di Indonesia dalam bentuk kaset, tadinya mau kaset dan CD ternyata hanya kaset saja, nggak tahu atas pertimbangan apa CD nya nggak dikeluarkan, dicetak sekitar seribu kaset, tapi karena low budget, kita promonya agak kurang, walaupun ada promo di radio-radio tapi tanggapan kecil sekali. Mendadak setelah kita ke ProgDay 2000 kemarin timbul berita di News music, kompas dan sebagainya, nah baru disitu tiba-tiba entah bagaimana orang banyak yang cari, toko-toko kaset bilang wah sekarang banyak yang mencari album Discus. Tapi ya karena sudah terlanjur di cetak hanya seribu dan sudah di lempar ke toko semua, ya sudah habis.

WJ : Masih aktif di musik kontemporer nggak ?


IH : Sudah agak lama nggak, tapi akan ke situ lagi. Ya kebetulan saja Discus kemarin sepertinya menjadi intensif, karena sambutan kita di luar negeri bagus, jadi konsentrasi saya sementara ke situ dan kitya jadi semangat-semangatnya bikin album kedua. Berkautan dengan tanggapan di Indonesia, Discus ini kan didirikan pada tahun 1996 kita pergi ke Amerika untuk konser pada 6 Oktober 2000, itu kan sudah empat tahun, percaya atau nggak pertunjukan di San Francisco itu adalah pertunjukkan Discus yang keenam , jadi selama empat tahun, di Indonesia total cuma lima kali manggung , sampai orang Amerika juga Tanya, "di negaramu sambutan bagus nggak?" ya kita bilang saja "di Mellow Park, California ini adalah penampilan kita yang keenam dari tahun 1996 dan di Prog day adalah yang ketujuh", dia langsung kaget, dan dia bilang "wah kok kamu mau-maunya". Tapi untungnya di grup kita orang-orangnya, professional musician atau semi professional, jadi memang musisi, walaupun Discus jarang main kita pasti semingu sekali latihan, ada atau nggak ada acara, jadi selama empat tahun itu nggak pernah berhenti, dan karena sebagian dari mereka musisi yang mencari uang lewat musik, jadi nggak pernah meninggalkan instrument, jadi walaupun jarang naik panggung, tapi permainan kita nggak kacau, ya syukurlahlah selama ini yang terjadi begitu.

WJ : Jadi ada dari masing-masing anggota untuk terus di Discus dan mengembangkan musiknya ?


IH : Setidak-tidaknya sampai saat ini begitu .

WJ : Tentang nuansa Indonesia yang anda masukkan ke dalam musik anda, samapi dimana kekuatannya, maksudnya apakah ini sekedar semacam tempelan saja atau katakanlah menjadi "ruh" dari musik itu bahwa Discus dari Indonesia ?


IH : Itu jelas dari "ruh" ya, tapi , saya rasa begini, disatu pihak kita melakukan itu tapi di lain pihak kita nggak mengharuskan semua lagu kita ada nuansa itu, karena kita juga tidak merasa sebagai grup world music atau kita tidak mengklaim harus ada elemen seperti itu (etnik Indonesia -red), cuma kenyataan menunjukkan bahwa ternyata justru elemen itu yang membuat nilai lebih dan dianggap punya ciri yang berbeda dengan mereka, ini ada suasana Asia atau Indonesia, Progressive kan asalnya dari Inggris dan berkembang ke Eropa dan Amerika, tapi secara maistreamnya bukan elemen Asia, nah ternyata tiba-tiba ada elemaen Asia yang masuk, Bali, Sunda, Jawa dan sedikit Timur Tengah, ya ini jadi menarik buat mereka.

WJ : Jadi itu memang tuntutan dari komposisinya itu sendiri ?

IH : Ya dan memang kita hidup di Indonesia, kita tidak bisa terlepas untuk mendengar musik tradisional dari waktu kita kecil, jadi rasanya sah-sah saja kalau begitu, namanya musik sih ya, jadi kalau menulis komposisi itu, apa yang tiba-tiba saya rasakan dan ada dalam pikiran saya masukkan, kalau itu tradisional dan saya merasa komposisi ini bagus dilarikan kesitu ya saya masukkan saja, kalau pas nggak merasa kesitu ya nggak akan kita buat begitu, kita akan memasukkan itu (unsur tradisional -red) kalau kita merasa terinspirasikan kesitu, kalau nggak ya kita nggak masukkan.
WJ : Lalu mengenai beberapa lagu yang berbentuk semacam "suita" yang terdiri dari beberapa bagian, apa ini juga tuntutan dari ide tadi ?

IH : Wah ini sangat susah dibilang, karena pada saat kita menulis lagu, kadang-kadang apapun bisa terjadi yang kita nggak rencanakan sebelumnya. Kalau komposisi panjang, sebetulnya bisa jadi sesuatu itu memang diniati untuk dibikin panjang, tapi kadang-kadang juga bisa jadi sesuatu lagu yang dalam proses penciptaannya bisa jadi panjang sendiri, entah bagaimana kalau kita bikin komposisi musik kadang-kadang kalau kita jujur pada perasaan kita , kadang-kadang terasa sendiri apakah komposisi ini harus berhenti disini, sudah saatnya berhenti ataukah harus lanjut. Jadi kalau komposisi yang seharusnya panjang dipendek-pendekan atau sebaliknya komposisi yang seharusnya pendek dipanjang-panjangkan akan jadi nggak karuan. Jadi gimana ya, susah untuk menjelaskannya..

WJ : Mungkin itu suatu proses yang mengalir dan tidak bisa dijelaskan secara definitive !


IH : Ya, tapi mungkin ada yang bisa menjelaskan, tapi terus terang saya nggak bisa.

WJ : Mengenai alat musik Harpa Gitar (Guitar Harp) yang sepertinya menjadi spesialis Bung Iwan, bagaimana ceritanya ?


IH: Kalau dibilang spesialis, nggak juga, maksudnya karena kebetulan saja jarang yang main. Kenapa saya nggak mengaku sebagai spesialis sebabnya begini, waktu saya di Amerika studi dengan orang yang namanya John Doan. Dia professor gitar klasik, tapi dia juga punya karir di musik dan dia main alat itu (guitar harp) yang dia desain sendiri, nah kalau dia itu diluar karirnya sebagai professor gitar klasik dia sudah banyak rekaman di label Narada dan Windham Hill dan dalam albumnya khusus memainkan alat itu sendirian dan kalaupun ada sound-sound lain seperti biola, flute atau bahkan paduan suara untuk beberapa lagu, tapi itu hanya menjadi semacam background saja, utamanya tetap komposisi-komposisi untuk harp guitar ini, kalau dia sudah hidup matinya disitu, di album-albumnya dia hanya memainkan alat itu, nah kalu saya kan tidak seperti itu, saya masih main alat yang lain dan itu hanyalah salah satu dari alat yang saya mainkan.

WJ : Kebetulan jarang yang memakai, jadi mungkin trade mark alat ini disini melekat pada Bung Iwan ?


IH : Ya memang itu unik sih, artinya yang mendesain guru saya itu John Doan, dan memiliki hanya tiga orang, dia, saya dan ada satu orang lagi di Amerika juga, karena memang itu dia yang mendesain, ada desain-desain gitar denga snar banyak yang dipakai juga oleh Pat Metheny, Michael Hodges, tapi kan lain dengan disainnya ini, sepanjang yang saya tahu disatu album mereka juga memakai alat lain, dan yang dalam semua albumnya hanya memakai alat itu adalah John Doan. Jadi saya katakan tadi mengapa saya tidak mengklaim sebagai spesialis , kalau saya spesialis alat itu berarti saya sudah sanggup seperti guru saya itu, bisa satu album isinya permainan alat itu semua, rasanya dalam hal ini saya belum sampai kesitu. Tapi siapa tahu besok-besok saya bisa mencoba melakukan hal itu.

WJ : Bagaimana menurut Bung Iwan kondisi dunia musik di Indonesia pada saat sekarang ini ?


IH : Mau nggak mau saya harus mengatakan sangat disesalkan, mengapa format musik di Indonesia, format yang jalan di industrinya kok seperti foto copy dari lagu-lagu pop yang ngetop di Amerika, tangga lagu-lagu asingnya saja isinya kurang lebih sama dengan yang di Amerika, kalu lagu yang dari Indonesia stylenya bisa dibilang persis mengikuti trend apa yang baru terjadi disana juga, jadi seperti foto copynya MTV begitu. Kadang-kadang memprihatinkan juga, ini maunya kemana sih sebetulnya, artinya bentuk-bentuk musik katakanlah tradisi hilang dan kurang didukung oleh industrinya yang mainstream. Tidak usah itulah, musik-musik yang lain diluar yang seperti itu (pop "MTV" -red) juga sulit untuk hidup, sekarang contohnya begini, waktu itu saya pernah hadir di diskusi yang diadakan suatu majalah musik, saya waktu itu bersama Donny Suhendra dan Gilang Ramadhan, kita bicara disitu dan saya ditanya kenapa Discus ini kok luar negeri minded sekali, janganlah lupakan negara kita sendiri (untuk rekaman dan pementasan -red), saya bilang suh kita ingin sekali bisa diterima disini tapi bagaimana, dulu kita datang ke label disini dan ditolak melulu, dibilang musiknya susah dijual dan ternyata di luar negeri disambut, terus ini yang salah siapa ? Kita kan nggak memilih begitu, tapi nasib menentukan demikian terus bagaiman, apa mesti kita tolak, ya nggak dong. Masa bisa ada satu perusahaan di Italy yang ternyata menampung kami dan kita kemarin diundang di festival di Amerika dan bisa dikatakan disambut dengan baik, sementara kita disini mau menyelenggarakan pementasan buat kita saja susahnya setengah mati, jadi kenapa begitu, bukan karena kita yang menginginkan begitu, cuma pada waktu itu kita belum diterima disini. Sebetulnya di luar juga yang dominan tetap musik pop, tapi yang diluarnya itu bisa tergarap cukup baik walaupun tidak pernah mencapai skala sebesar musik pop, musik-musik yang segmented terbukti tergarap juga, disini menyesalnya kan tidak atau kurang tergarap. Mudah-mudahan dan saya berharap ada gejala-gejala positif yang saya lihat, seperti contohnya acara ini di radio yang mencoba setidak-tidaknya untuk menyadarkan publik disini bahwa ada bentuk-bentuk alternatif terhadap musik mainstream pop tadi. Saya sama sekali bukannya mau menganggap musik pop itu jelek, ada beberapa lagu pop yang saya suka dan Discus tidak bisa dibilang anti pop , ada elemen pop juga disitu, tapi kenapa musik harus selalu "fast food", maksudnya dalam format yang hanya sekian menit dan sudah baku seperti itu, kenapa nggak bisa yang lain, kalau lagu panjang misalnya duapuluh menit, memangnya kenapa. Kalau lagu yang temanya perlu pemikiran kenapa nggak bisa dimuat disitu atau nggak bisa diterima, ini kan sangat disesalkan kalau saya pikir.

WJ : Mungkin ini "PR" buat kita semua untuk meningkatkan lagi apresiasi masyarakat dan semua yang berkaitan dan terlibat dalam musik ?

IH : Ya. tapi memang ditengah suasana yang tidak kondusif ini, sebenarnya saya yakin musisi-musisi yang Progressive atau yang jazz atau yang diluar pop format pasti banyak, tapi akhirnya mayoritas dari mereka itu layu sebelum berkembang karena nggak ada yang menampung. Kita (Discus -red) ini mungkin bisa dibilang berani mati dalam suasana seperti ini seperti kata orang Amerika tadi, "kok mau-maunya kamu begini", ya tidak tahu mungkin kebetulan saja. Tapi situasi ini secara umum sangat discouraging artinya tidak memberi semangat, mungkin ada anak-anak muda yang sebetulnya berpotensi, Cuma akhirnya mereka menterah pada situasi. Saya sendiri pernah frustasi, setelah pulang dari Amerika, sekitar dua tahun nggak main musik karena melihat kondisi begitu, tapi ada hal-hal tertentu yang membuat saya mencoba lagi dan ternyata kali ini agak lumayan ada hasilnya walaupun dengan susah payah, bayangkan empat tahun dengan hanya lima kali tampil di panggung, maunya sih ingin tampil terus tapi nggak ada yang bisa atau mau menampung kita, mungkin pada takut acaranya bubar kalau kita main.

WJ : Bagaimana ceritanya sampai di undang ke Baja Prog Festival ?


IH : Saya rasa ini adalah karena sukses kami di ProgDay 2000, yang ternyata cukup bergaung di kalangan pecinta peogressive rock.

WJ : Selain Discus band apa saja yang tampil disana ?

IH : Le Orme (Italia), Ankh (Polandia), Azugza (USA), Aria (Mexico), Cast (Mexico), Eclat (Perancis), Exsimio (Chili), Finnisterre (Italia), Landmarq (Inggris), Omni (Spanyol), Bital Dua (Perancis), Priam (Perancis), Solaris (Hongaria), Subterra (Chili), Sylvan (Jerman), Vital Duo (Perancis). Dua buah band yang semula akan tampil tetapi batal adalah Happy The Man (USA) dan Iona (Inggris). Iona gagal tampil karena vokalisnya sakit, sedangkan Happy The Man saya tidak tahu apa sebabnya.

WJ : Bagiamana bisa bertemu dengan I Gusti Kompiang Raka dan berkolaborasi, apakah sudah direncanakan dari semula ?


IH : Saya sudah pernah bermain bersama Pak Kompiang dalam musik kontemporer. Kami bersama pernah mendukung konser musik Ibu Tri Sutji Kamal pada awal 90-an. Kemudian pada Pekan Komponis IX (1998) saya dan Pak Kompiang adalah dua komponis kontemporer yang tampil pada Pekan Komponis tsb. Oleh karena itu kami sudah cukup lama saling kenal.

WJ : Bisa ceritakan sambutan yang didapat disana berkaitan dengan pementasan Discus ?


IH : Sangat luar biasa! Ternyata masyarakat disana memang telah menanti2kan kami, karena sebelumnya musik kami telah dipromosikan oleh stasiun radio disana dalam mengantisipasi event Baja Prog. Sebelum kami datang, stasiun radio tsb banyak mendapat telpon yang menanyakan apakah Discus jadi datang untuk tampil. Ternyata memang penonton sangat antusias. Paul Whithead, designer album2 Genesis pada era awal 70-an juga hadir dan mengadakan pameran disitu, dan ia memberi semangat pada kami dan berpesan agar kami bertahan terus dan jangan bubar sebab musik kami dianggap unik. Kami sempat diwawancara oleh sebuah stasiun TV disana.

WJ : Mungkin ada pengalaman yang menarik disana, karena musik Discus mungkin cukup unik dengan memasukan musik gamelan pada komposisinya ?


IH : Ya, memang faktor itu menjadi salah satu elemen penarik.

WJ : Lagu-lagu yang dibawakan di Baja Prog apakah ada komposisi-komposisi baru dan apakah Discus datang dengan formasi komplet ?


IH : Ya, tentu komplit. Ditambah Pak Kompiang, kami main 9 orang. Ada 2 komposisi baru: yang pertama berjudul "Anne" dan terdiri dati 7 bagian, total durasi 24 menit. Komposisi ini bercerita mengenai Anne Frank., gadis Yahudi-Belanda yang meninggal di kamp konsentrasi korban Nazi pada usia 15 tahun. Namun demikian kami mempergunakan elemen Bali dan Sunda (antara lain vokal kecak) dalam komposisi ini, sekalipun temanya universal. Prinsip kami, tidak ada salahnya mempergunakan elemen tradisi (Indonesia) untuk mengisahkan suatu tema internasional. Musik adalah universal dan sudah sangat sering pola musik barat (rock, pop, dsb) dipergunakan untuk mengisahkan tema lokal. Mengapa tidak dibalik? Satu lagi komposisi baru berjudul "A Cry of Deities on Forgotten Paradise", yang kami buat secara kolaboratif dengan Pak Kompiang dan sangat menonjolkan Pak Kompiang. Selain musik tradisional, pada komposisi-komposisi kami pasca album "1st", terdapat elemen rock yang lebih keras dari sebelumnya, serta elemen klasik dan kontemporer. Terkadang kerasnya elemen rock kami mendekati metal, sementara dari sisi jazz, kami justru mengembil elemen jazz yang lebih "tradisional", langsung dari "sumber"nya, seperti swing, jazz waltz, samba, sementara kami hanya sedikit sekali berpaling pada jazz fusion. Namun pada akhirnya karena karakternya yang dialektik, dapat pula dianggap menjadi sebuah "fusion". Itulah musik progressive.

WJ : Baik sekian dulu Bung Iwan, terimakasih atas waktunya lain kali semoga bersedia lagi.


IH : Terima kasih, pasti bersedia.

*) Wawancara ini dilakukan pada saat acara "Jazz Times" di Radio Bikima 99.85 FM Yogyakarta dan juga lewat internet.

Discus, Si Langka Digdaya
Pertunjukan ini menggetarkan sekaligus menggentarkan pendengarnya tanpa ancang-ancang.
Jum'at, 7 November 2008, 10:05 WIB
Bonardo Maulana Wahono
Yuyun vokalis Discus di Salihara

VIVAnews - Musik yang bagus senantiasa berupaya melampaui batas-batas. Ia mengandaikan terbangunnya hubungan yang intens antara pemusik, instrumen yang dimainkan, lagu, dan pendengar, tanpa mengenal kelas yang mengkotak-kotakkan suatu kaum. Ia bisa selalu menggetarkan sekaligus menggentarkan pendengarnya tanpa ancang-ancang.

Dan Discus menawarkan itu kepada para pendengarnya itu di teater Black Box Salihara, pada 5 November 2008, dalam rangkaian acara Festival Salihara yang berlangsung pada 17 Oktober - 6 Desember 2008 di Jalan Salihara 16 Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kelompok yang didirikan Iwan Hasan dan Anto Praboe pada tahun 1995 itu seakan menjepit telinga penonton dengan progresi kord yang rumit dan aransemen luar biasa kaya.

Pertunjukan dibuka dengan “Gambang Suling”, sebuah tafsir rock atas lagu tradisional yang disusun oleh Ki Narto Sabdo. Komposisi ini juga merupakan lagu pembuka di Gedung Teatro del Estado, Meksiko, pada sebuah festival di negara tersebut pada tahun 2000. Lagu yang dinyanyikan oleh vokalis Yuyun ini menyuguhkan variasi kompleks atas lagu tradisional Jawa itu.

“Contrasts” kemudian ditembakkan ke telinga penonton. Track ini disebut-sebut merupakan karya yang mendefinisikan mereka sebagai grup rock progresif. Lewat track tersebut, penonton dapat terguncang oleh dinamika ritme yang melamban-mengencang secara tak ajek; improvisasi gitar oleh Iwan Hasan maupun klarinet atau bahkan saxophone oleh Anto Praboe yang seakan bermain tangkap dan lari. Lagu yang diambil dari album pertama mereka “1st” (2000) ini memang menampilkan orkestrasi rupa-warna yang amat kaya.

Dalam sebuah wawancara dengan gepr.net, sebuah situs yang berfokus pada musik rock progresif, Hasan membilang bahwa filosofi dasar track ini, tempat “Gambang Suling” melekat, adalah selalu ada yang berlawanan di dunia—gelap/terang, maskulin/feminin—dan semua membawa keseimbangan. Ada dinamika yang saling bertolak belakang dalam track tersebut. “Hidup itu kompleks dan penuh perubahan,” jelas Hasan seperti dikutip dari situs tersebut.

Komposisi musik-kamar mereka yang berjudul Condissonance (dari “1st”) dan Music for Five Players (dari album kedua “... tot lich!” (2004)) lalu dilepas setelah mereka memainkan “Breathe.” Dalam kedua komposisi yang dimainkan medley ini, Iwan Hasan, Anto Praboe dan Eko Partitur (biola) menunjukkan virtuositas mereka.

Iwan Hasan, kali ini memeluk gitar 21 senar andalannya, bertindak sebagai 'konduktor', peran yang dulu pernah dilakoninya. Anto Praboe memainkan bass klarinet, alat yang bisa bikin darah mengalir dengan lambat dan waktu mengambang di udara. Keduanya, bersama sayatan biola Eko Partitur, yang disebut-sebut memiliki gaya permainan Jean-Luc Ponty dan kerap menjadi pengiring musik dalam pementasan Teater Koma, tak menyisakan ruang bagi penonton untuk bernafas teratur. Mereka telah melampaui teknik. Mereka memainkan sihir!

Beberapa lagu berikutnya berisi materi dari album ketiga, yang masih dalam proses pengerjaan. Lalu “Verso Kartini - Door Duisternis Tot Licht (habis gelap terbitlah terang). Lagu ini berisi music score yang sangat padat, selain narasi (lirik) yang sangat padat juga. Sepertinya Discus tidak yakin bahwa pesan dari lagu tersebut akan sampai kepada pendengarnya jika tak menjejalkan narasi.

Terlepas dari itu, kiranya salah satu alasan kedatangan penonton adalah merayakan keberagaman cara pengungkapan. Di tengah ramainya banyaknya kelompok musik yang sebenarnya seragam, Discus, grup yang meleburkan banyak genre seperti jazz, etnik, musik garda depan, mengajukan harapan baru.

Mereka bahkan menunjukkan bahwa upaya yang keras kepala untuk menyajikan cara pengungkapan yang berbeda akan membawa mereka ke panggung tertinggi. Tahun ini mereka diundang ke festival Zappanale, yang merupakan festival tahunan terbesar untuk menghormati komponis Frank Zappa.

Grup yang beranggotakan Iwan Hasan, Anto Praboe, Fadhil Indra, Eko Partitur, Kiki Caloh, Hayunaji, Krisna Prameswara dan Yuyun ini merupakan grup musik satu-satunya dari Asia yang pernah diundang di festival yang terkenal memiliki proses seleksi sangat ketat itu.